Rabu, 08 Maret 2017

Teori Belajar dan Pembelajaran Kejuruan/Vokasi



“TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KEJURUAN/VOKASI”

Dosen Pengampu: Dr. Hendra Jaya MT
Mata kuliah: Teori Strategi Pembelajaran PTK
Nama Mahasiswa: Andi Haerawati
S2/PTK Program Pasca Sarjana UNM

Pendidikan kejuruan dan vokasi tidak semata mata dikembangkan menggunakan instrument kebijakan pendidikan tetapi juga menggunakan instrument kebijakan sosial, ekonomi, politik dan ketenagakerjaan (Atchoarena,D. 2009). Pendidikan kejuruan dan vokasi peka terhadap masalah-masalah dan perubahan sosial  masyarakat. Diminati atau sebaliknya  tidak diminati pendidikan kejuruan dan vokasi itu sangat tergantung dengan keadaan sosial masyarakat itu sendiri.
Dalam perspektif sosial ekonomi pendidikan kejuruan dan vokasi adalah pendidikan ekonomi sebab diturunkan dari kebutuhan pasar kerja, memberi  urunan terhadap kekuatan ekonomi (Singh,M.,2009;Ahadzie.W.,2009;Hawley,J.D .,2009; Pavlova,M.2009). Lebih lanjut menurut Wardiman (1998;32), pendidikan kejuruan dikembangkan melihat adanya kebutuhan masyarakat akan pekerjaan. Peserta didik membutuhkan program yang dapat memberikan ketermpilan, pengetahuan, sikap kerja, pengalaman wawasan dan jaringan yang dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pilihan kariernya .
Secara tradisional tujuan utama dari pendidikan kejuruan adalah persiapan langsung untuk bekerja. Pendidikan tersebut dianggap memberikan pelatihan khusus yang reproduktif dan berdasarkan instruksi pengajar dengan maksud untuk mengembangkan pemahaman tentang industri tertentu.
Untuk itu disiapkan Sekolah Menengah Kejuruan yang berlandaskan 3 tujuan pokok, yaitu mempersiapkan lulusan untuk bisa bekerja, meneruskan, dan wirausaha yang dikenal dengan singkatan BMW. BMW mengandung makna bahwa Sekolah Menengah Kejuruan harus dapat: 1) mempersiapkan peserta didik dengan kompetensi-kompetensi untuk  bekal bekerja memasuki dunia kerja, 2) mempersiapkan peserta didik untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, 3) mempersiapkan peserta didik untuk  bekerja mandiri dengan berwirausaha. (Trilling, B. dan Fadel,C.2009) menyatakan bahwa pekerjaan saat ini dan yang akan datang memerlukan keterampilan kompleks, keahlian, dan kreativitas. Pergeseran paradigma pendidikan kejuruan dari hanya menciptakan tenaga kerja terampil menjadi menciptakan tenaga kerja terampil berpengetahuan dan berkarakter akan berdampak pada perubahan strategi pembelajaran di sekolah kejuruan.
Tuntutan kompetensi yang lebih luas yang tidak sekadar memiliki keterampilan teknis akan berimplikasi pada strategi, model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh pendidikan kejuruan. Strategi, model dan metode pembelajaran tersebut tidak hanya mengantar peserta didik memiliki  skill, teknis, tetapi juga harus mengantar  peserta didik menjadi insan yang kreatif, inovatif, mandiri, mampu bekerja dalam tim, mampu berkomunikasi dan menerapkan budaya literasi.
Dalam proses pembelajaran SMK terdapat empat kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori belajar yaitu: teori belajar behavioristik,  teori belajar kognitivistik, teori belajar konstruktivistik dan  teori belajar humanistik
A.     TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Teori belajar Behavioristik adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk  reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Behaviorisme merupakan kekuatan pendidikan sejak abad pertengahan. Sebagai suatu pendekatan terhadap pendidikan, behaviorisme terbuka bagi manusia modern yang mengutamakan metodologi ilmiah dan “obyektivitas” seperti sektor yang dapat diukur dari komunitas bisnis yang menilai hasil, efisiensi, dan ekonomi yang terlihat mendesak (Haryo, 2007) Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini yaitu : Manusia adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah proses perubahan perilaku; peran guru adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan obyektivitas merupakan perhatian utama dalam pendidikan.
Pengertian belajar menurut teori Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan proses belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku  adalah hasil belajar.
            Para tokoh aliran behaviorisme setidaknya ada Thorndike, Skinner, Pavlov, Gagne,  dan Bandura. Pada intinya mereka menyetujui pengertian belajar di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat akan kami bahas karya tokoh aliran behaviouristik sebagai berikut.
Konsep dari teori belajar behavioristik adalah respon  perubahan perilaku yang teramati, terukur, dan ternilai konkrit karena stimulus dari luar. Kunci pokok dan prinsip dasar stimulus dalam belajar adalah  pengkondisian lingkungan belajar (Putu Sudira: 2016: 161). Behavioris melihat proses belajar sebagai perubahan perilaku, dan akan mengatur lingkungan untuk memperoleh respon yang diinginkan melalui  perangkat seperti tujuan perilaku, pembelajaran berbasis kompetensi, dan  pengembangan keterampilan dan pelatihan. Pendekatan pendidikan seperti  pengukuran berbasis kurikulum, dan pembelajaran langsung muncul dari model ini (https://en.wikipedia.org/wiki/Learning_theory_(education)#Behavior_   analysis).
Pada konsep belajar behaviorism ini lingkungan sangat besar  perannya untuk membentuk anak. Bila lingkungan memberikan stimulus positif maka anak akan berperilaku positif. Teori ini dapat diterapkan dalam pendidikan kejuruan yakni dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran langsung. Sebelum melakukan suatu pekerjaan anak melihat apa yang dicontohkan oleh guru, kemudian mencoba dengan meniru perilaku guru dan dilakukan berulang-ulang. Menurut Putu Sudira (2016:163) teori belajar behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula. Pembelajar kejuruan pemula sebelum berlatih suatu skill  motorik memerlukan interaksi sosial dengan mengamati kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori Bandura), mempraktikkan secara langsung (teori Skinner), diulang-ulang hingga menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan mental  peserta didik sebelum latihan (teori Thorndike). Teori belajar behavioristik bermanfaat pula untuk menghadapi pembelajar kejuruan yang pasif. Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa sebagai  bentuk stimulus agar mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya siswa SMK masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa  pemula atau kelas X.
            Menurut Budiningsih, 2005:24 dari semua teori pendukung tingkah laku, teori skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang diwujudkan dalam program-program pembelajaran yang disertai oleh perangkat penguatan(reinforcement).
Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas,  kelenturan, daya tahan, contohnya percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kelemahan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
            Tokohnya Skinner, Watson, Thorndike. Dasar filosofis dari teori mereka adalah bahwa perilaku itu terbentuk dari perlakuan individu lain dalam lingkungan sekitarnya. Kalau individu tidak dapat melakukan self-determinism maka dirinya  akan mudah sekali terhanyut. Behavioristik dalam menjabarkan pandangannya selalu dihubungkan dengan prinsip stimulus-respon. Kalau orang tua misalnya memberikan pola asuh otoriter yang didalamnya selalu penuh dengan kritikan, celaan, maka anakpun akan belajar dan kemudian memberikan respon perasan rendah diri Behavioristik lebih menekankan pada perilaku sekarang daripada menoleh kembali ke masa kehidupan awal.
B.     TEORI BELAJAR KOGNITIVISTIK
Teori belajar kognitivistik ini lebih menengkankan proses belajar dari pada hasil belajar. bagi penganut aliran kognivistik belajar tidak sekedar melibatkan antara stimulus dan respons. lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Siregar & Nara, 20) Teori kognitif fokus  pada konseptualisasi proses belajar siswa dan mengatasi masalah bagaimana informasi yang diterima, terorganisir, disimpan, dan diambil oleh pikiran. Belajar yang bersangkutan tidak begitu banyak dengan peserta didik apa yang dilakukan, tetapi dengan apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka datang untuk memperolehnya (Jonassen, 1991). Kognitivisme fokus pada aktivitas mental dan pikiran, memproses informasi, memasukkan memory, memecahkan masalah, menalar Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Adapun teori pendukung kognitivisme antara lain: 1) component display theory dari Merrill; 2) teori elaborasi dari Reigeluth; 3) konstruktivisme kognitif dari Gagne, Bringgs, dan Bruner,; 4) structural learning dari Scandura (Putu Sudira: 2016).
Dalam pendidikan kejuruan Teori belajar kognitif digunakan dalam pembelajaran ketrampilan berpikir ( thinking skills ). Selain skill motorik, skill kognitif diperlukan dalam pendidikan kejuruan abad 21 untuk membekali lulusan mudah  beradaptasi dalam dunia kerja yang mengalami perubahan sangat cepat dibidang teknologi.
High Order Thinking Skill (HOTS) semakin dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21 (Sudira:2016). Critical thinking, creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia, proses mendapatkan informasi merupakan variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar mengkonstruksi pengetahuan.
C.      TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Teori belajar Konstruktivisme adalah  perspektif psikologis dan filosofis menyatakan bahwa individu membentuk atau membangun pengetahuan dari apa yang dipelajari dan dipahami. Teori dari Piaget and Vygotsky berpengaruh besar pada peningkatan constructivism melalui teori dan riset pengembangan manusia. Belajar menurut teori kontruktivisme merupakan proses mengkonstruksi  pengetahuan melalui pengalaman, Pengetahuan merupakan hasil dari proses mengkontruksi yang dilakukan individu. Wina Sanjaya (2010)
Teori belajar konstruktivistik menekankan bahwa belajar adalah proses aktif mengkonstruksi pengetahuan. Peserta didik berperan sebagai konstruktor  pengetahuan. Berlangsungnya proses mental mengaitkan informasi baru dengan  pengetahuan yang ada sebelumnya merupakan proses mengkonstruksi  pengetahuan. Belajar merupakan proses aktif mengkonstruksi pengetahuan, ide  baru dengan pengalaman sebelumnya (Putu Sudira: 2016: 166).
Konsekuensi dari penggunaan teori konstruktivis dalam pembelajaran adalah bagaimana sekolah dan guru menciptakan lingkungan konstruktivis yang kaya pengalaman. Pembelajaran konstruktivis berbeda dengan pembelajaran tradisional. Dalam pembelajaran konstruktivis, kurikulum berfokus pada konsep. Kegiatan pembelajaran biasanya memanfaatkan data dan bahan manipulatif sebagai sumber utama. Guru berinteraksi dengan siswa dengan  bertanya berdasarkan sudut pandang mereka. Siswa sering bekerja dalam kelompok. Penilaiannya menggunakan penilaian otentik, observasi dan  portofolio. Kuncinya ada pada struktur lingkungan belajar, sehingga siswa dapat secara efektif membangun pengetahuan dan keterampilan baru (Schunk, 2012: 261).
Berdasarkan teori konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran  berpikir tingkat tinggi yang diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan teori ini untuk menjawab tantangan dunia kerja yang memerlukan tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi dengan pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis menekankan pada kooperatif dan kolaboratif dengan pembentukkan kelompok kerja siswa. Hal ini sesuai dengan kebutuhan  skill abad 21 yang memerlukan kemampuan kerja dalam tim.
Transformasi global terhadap ekonomi berbasis pengetahuan, industri kreatif, tuntutan yang kuat untuk pengembangan kualitas masyarakat, kompetisi internasional dan regional telah mendorong perubahan pola penyelenggaraan pendidikan vokasi di berbagai belahan dunia (Cheng, 2005). Telah terjadi peningkatan keterbukaan, fleksibilitas, kompleksitas, dan ketidakpastian dalam masyarakat industri berbasis pengetahuan (Tessaring, 2009; Heinz, 2009; Billet, 2009; Wagner, 2008). Sehingga kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi (VET) dituntut harus selalu beradaptasi dengan kondisi, perubahan, dan kebutuhan dunia kerja. Pada prinsipnya, kurikulum VET harus mengakomodasi semua kebutuhan baik kebutuhan fisik peserta didik, non-fisik, dan moral serta masa depan mereka untuk bisa hidup aman, nyaman, bahagia sejahteran,dan harmonis bersama masyarakat dan alam sekitarnya (Rojewski, 2009).
Teori konstruktivis menginspirasi para ahli  pembelajaran untuk membuat model-model pembelajaran baru berbasis konstruktivis Pendidikan kejuruan bersifat dinamis sehingga teori belajar kontemporer yang banyak mewarnai pendidikan kejuruan. Berikut adalah macam-macam teori belajar kontemporer, diantaranya:
  a)      Teori Operant Conditioning dari B.F Skinner
Berkembangnya teori Operant Conditioning berasal dari Classical Conditioning dari Pavlov. Inti dari teori ini adalah bahwa setiap perilaku berwujud karena ada stimulus yang hasilnya berupa respon atau yang biasa dikenal S-R (Stimulus Respon). Jadi dapat disimpulkan bahwa teori operant conditioning yaitu teori yang berusaha untuk mengkondisikan siswa untuk merespon stimulus dan responnya berupa keinginan untuk belajar.
               b)    Teori Condition of Laerning dari Robert Gagne
Dasar teori ini yaitu bahwa belajar tidak bisa berdiri sendiri hanya untuk menyampaikan materi pembelajaran, tapi perlu didukung oleh faktor lingkungan atau kondisi. Dalam teori ini menyatakan bahwa ada beberapa jenis atau tingkat pembelajaran. Pentingnya klasifikasi tersebut adalah bahwa setiap jenis yang berbeda membutuhkan berbagi jenis instruksi.
Berikut adalah lima kategori pembelajaran:
      a.   Informasi Verbal
      b.   Keterampilan Intelektual
      c.   Strategi Kognitif
      d.   Keterampilan Motorik
      e.   Sikap
Dari kelima kategori pembelajaran diatas, komponen utamanya yaitu berupa kondisi internal dan eksternal yang berbeda diperlukan untuk setiap jenis belajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Conditioning of learning yaitu suatu kondisi atau lingkungan yang dikondisikan untuk menstimulus suatu kegiatan pembelajaran.
              c)     Teori Information Processing dari Donald A. Norman  
Teori ini bisa dianalogikan seperti kinerja otak manusia. Setiap informasi yang diperoleh kemudian diolah oleh otak (disebut proses) dan  hail belajar merupakan output dari proses informasi.
              d)    Karakteritik Cognitive Development dari Piaget
Teori ini, yang disebut sebagai teori perkembangan kognitif (cognitive-developmental theory) yang berfokus pada bagaimana proses berpikir mengalami perubahan, secara kualitatif, seiring dengan usia dan pengalaman. Anak-anak berperan aktif mencari tahu informasi dan sering mencoba hal-hal baru. Dalam proses untuk mengerjakan hal ini, pemikiran anak-anak secara bertahap menjadi lebih abstrak dan sistematis.
              e)     Teori Social Learning dari Albert Bandura
Teori ini menjelakan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil dari modelling/peniruan. Jadi perilaku seseorang itu bisa dipengeruhi oleh lingkungan dan kemampuan kognitifnya, sehingga menghasilkan suatu kepribadian. Teori kognitif sosial bandura manyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan faktor manusia/kognitif semua penting dalam memahami kepribadian.
f             f )    Teori attribution dari Weiner
Dalam teori ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekslporasi semua kemampuannya. Sehingga ruang gerak siswa dalam mencari dan mengolah informasi tidak dibatasi.

Selanjutnya teori-teori belajar TVET berkembang pesat seiring dengan kebutuhan dunia pada tenaga kerja yang siap pakai. Konsep  belajar kontemporer dalam TVET antara lain belajar berbasis kehidupan (life based learning), dan belajar sepanjang hayat (long life learning). TVET berperan dalam  pendidikan untuk semua (education for all ) baik pendidikan formal maupun non formal dari semua tingkat usia.
Belajar berbasis kehidupan ( life based learning ) dan belajar sepanjang hayat (long life learning) bertujuan untuk memperoleh ketrampilan menjalani hidup (life skill ). Life skill merupakan keseluruhan skill yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sepanjang waktu. Konsep belajar kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara sosial, situasional, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat,  belajar sepanjang hayat, dan belajar berbasis kehidupan. Pembelajaran TVET selalu kontekstual sesuai dengan situasi terkini dan mengedepankan pendekatan partnership serta interaksi sosial. Teori belajar kontemporer dalam TVET adalah sebagai berikut:
1.      Life Based Learning
Industri berbasis pengetahuan ( Knowledge-based Industry) membutuhkan pekerja berpengetahuan (knowledge workers) yang siap menerima tantangan pekerjaan dengan kondisi lingkungan yang dinamis mengikuti perubahan dan arus tekanan yang semakin kontradiktif. Life-based learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja, belajar mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat kerja. Staron (2011) menyatakan “ Life-based learning proposes that learning for work is not restricted to learning at work”. Pernyataan Staron inipun tidak cukup untuk kondisi Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia belajar untuk bekerja (learning  for work ) merupakan sebagian dari kebutuhan hidup. Masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi seperti kebutuhan bersosialisasi, beribadah, berbangsa, dan bernegara.
Life-based learning adalah proses pemerolehan pengetahuan dan skills memahami hakekat kehidupan, terampil memecahkan masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara seimbang dan harmonis.
 Life-based learning mengetengahkan konsep bahwa belajar dari kehidupan adalah belajar yang sesungguhnya. Visi life-based learning  dalam TVET adalah terbangunnya keyakinan dan budaya bekerja, belajar untuk saling membantu diantara peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pengembangan potensi diri mereka masing-masing agar berkembang kapabilitasnya secara terus-menerus dalam bidang kejuruannya (Putu Sudira, 2016: 174-176).
Life-based learning merupakan pengembangan spiral dari expert centred learning  dan work-based learning . Expert centred learning adalah pembelajaran  berpusat kepada pakar, berbasis kelas, proses adopsi dan implementasi. Work-based learning adalah pembelajaran yang terpasilitasi berbasis projek.
Beberapa hal yang diketahui tentang belajar mandiri: (a) peserta didik dapat diberdayakan untuk mengambil tanggung jawab semakin meningkat untuk  berbagai keputusan yang terkait dengan usaha pembelajaran; b) self-direction dipandang terbaik sebagai kontinum atau karakteristik yang eksis untuk  beberapa derajat pada setiap orang dan situasi belajar; c)self-direction tidak  berarti semua pembelajaran berlangsung dalam isolasi dari orang lain; c) peserta didik mandiri muncul dapat mentransfer pembelajaran, baik dari segi keterampilan pengetahuan dan studi, dari satu situasi ke yang lain; e) studi mandiri dapat melibatkan berbagai kegiatan dan sumber daya, seperti membaca dipandu diri sendiri, partisipasi dalam kelompok belajar, magang, dialog elektronik, dan kegiatan menulis reflektif; (F) peran yang efektif bagi guru dalam self-directed learning, seperti dialog dengan peserta didik, mengamankan sumber daya, mengevaluasi hasil, dan mempromosikan berpikir kritis.
2.      Belajar Berpartner Sosial (Social Partnerships Learning)
Perkembangan TVET memasuki fase tiga yang bercirikan sistem  pendidikan kejuruan demand-driven dimana sistem TVET dipengaruhi secara langsung oleh kebutuhan ekonomi pasar sehingga TVET dituntut mampu menyediakan tenaga profesional dengan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan  pemberi kerja. Belajar berpartner sosial adalah jaringan belajar yang menghubungkan kelompok lokal dengan organisasi atau lembaga eksternal yang  bergerak lintas global, regional, nasional, lokal, kota, tempat kerja, dan keluarga (Sudira:2012).
Kemitraan adalah fitur lama dari kebijakan publik. Misalnya, pendidikan sekolah didasarkan pada kemitraan antara pemerintah dan profesi guru selama abad kedua puluh. Setelah tahun 1990-an, pendidikan kejuruan dan pelatihan didasarkan pada kemitraan antara pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah dimana dibuat undang-undang melalui perguruan tinggi vokasional dan lembaga Technical and Further Education (TAFE).
            3.      Pembelajaran Orang Dewasa (Mature Adult Learning )
Pembelajaran dalam kejuruan membutuhkan persyaratan dan kondisi kematangan dan kedewasaan pada peserta didik. Lingkungan kerja membutuhkan kesiapan dan kematangan anak dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa kedewasaan dan kematangan maka pekerja akan kesulitan dalam mengembangkan karirnya. Semua pekerjaan membutuhkan tanggung jawab dan disiplin tinggi yang dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kedewasaan yang cukup (Putu Sudira, 2016: 190).
Konsep pembelajaran orang dewasa diarahkan untuk pembentukan konsep diri terhadap sesuatu yang dipelajari, kemudian menemukan makna dari sesuatu yang dipelajari. Pembelajar mengembangkan dan mengkonstruksi  pengetahuan melalui usaha-usahanya sendiri.
           4.      Pengembangan Kompetensi Sebagai Proses Kolektif
           (Competence As Collective  Process)
Kompetensi adalah kapasitas diri seseorang yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan berupa pengetahuan, skill, dan sikap sesuai bidangnya. Menurut Putu Sudira (2016: 192) seseorang dikatakan kompeten jika mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan skill yang tinggi sesuai bidangnya,mampu menjelaskan prosedur kerja dan pengetahuan kerja, serta memiliki sikap kerja yang tepat sebagai pekerja yang efektif dan produktif. Pengembangkan kompetensi membutuhkan interaksi sosial sebagai proses kolektif. Pekerjaan dan masalah pekerjaan membutuhkan penyelesaian kolektif antar individu. Pengembangkan kompetensi kerja membutuhkan proses kolektif antar individu atau kemampuan individu menjalin kerjasama dalam tim untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Persyaratan kerja yang mengalami perubahan ke arah lebih komplek, non rutin, konseptual, bebas memilih, berbasis interaksi dengan orang lain membutuhkan pembelajaran kompetensi yang interaktif kolektif diantara peserta didik (Putu Sudira, 2016: 193).
         5.      Belajar Berbasis Kerja (Work Based Learning )
Work based learning diterapkan dalam TVET untuk memenuhi kebutuhan ketuntasan belajar sesuai standar industri. Belajar berbasis kerja dapat dilakukan di sekolah atau di industri. Pendidikan kejuruan dikatakan efektif bila menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Adanya industri berbasis pengetahuan mengandung konsekuensi berubahnya konsep  pembelajaran berbasis kerja (Putu Sudira).
Work based learning harus mampu menghasilkan pekerja yang kompeten dan cakap dalam menghadapi perubahan yang cepat serta memiliki karakter kerja ( soft skill ) sesuai tuntutan industri. Perubahan teknologi yang cepat di dunia industri menuntut pekerja yang memiliki kecakapan Skill motorik, knowledge, dan character.Kelemahan Prakerin umumnya DUDI kurang memberikan pelatihan praktik  peserta didik sesuai standar.
          6.      Belajar Di Tempat Kerja (Workplace Learning )
Setiap pemecahan masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah sampai pada pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan kerja dan berlangsungdi tempat kerja merupakan pembelajaran TVET abad 21 (Putu Sudira, 2016: 196). Pembelajaran di tempat kerja membantu siswa untuk: 1) menguji coba  pilihan pekerjaan dan karir mereka, 2) menyelesaikan tugas yang diberikan dalam mata pelajaran yang bersangkutan di lingkungan industri yang relevan, 3) mengetahui apa yang diinginkan oleh pemberi pekerjaan dari para pekerja mereka, 4) membangun keahlian bekerja umum seperti komunikasi di tempat kerja, kemandirian dan kerja sama tim, 5) mengembangkan keahlian khusus untuk bidang kerja yang mereka inginkan, 6) mendapatkan kepercayaan diri dan kedewasaan melalui partisipasi dalam lingkungan kerja orang dewasa, 7) membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar ketika merencanakan  pilihan yang akan mereka ambil dalam transisi mereka selama di sekolah dan menuju pendidikan lebih lanjut, pelatihan dan pekerjaan.
 Ada 3 asumsi John Thompson (1973) yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul “Foundations of Vocational Education” yaitu:
a. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu mempersiapkan para siswanya untuk suatu pekerjaan spesifik dalam masyarakat yang didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja yang riil. 
b. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu menjamin adanya pasokan tenaga kerja untuk suatu wilayah.
c. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila para lulusannya mendapatkan pekerjaan sesuai apa yang dilatih.

      D.    TEORI HUMANISTIK
 Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.Dari  teori-teori belajar, seperti behavioristik, kognitif dan konstruktivistik  teori inilah yang paling abstrak , yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan. Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
            Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif Pendekatan sistem bisa dapat di lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan ini.Tokoh utama teori humanistik adalah C. Rogger  dan Arthur Comb.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si peserta didik.  untuk mengembangkan dirinya,  yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
Beberapa prinsip Teori belajar Humanistik:
1.   Manusia mempunyai belajar alami
2.   Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu
3.   Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
4.   Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
5.   Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman peserta didik dalam memperoleh cara.
6.   Belajar yang bermakna diperolaeh jika peserta didik melakukannya
7.   Belajar lancar jika peserta didik dilibatkan dalam proses belajar
8.   Belajar yang melibatkan peserta didik seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
9.   Kepercayaan pada diri pada peserta didik ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
10.  Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

DAFTAR REFERENSI

Australian: NCVER. https://www.ncver.edu.au/__data/assets/file/0014/5180/nr2002. pdfTauhidBashori.Pragmatisme Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey), http://www.geocities.com. Diakses tanggal  2 Maret 2017

Diakses tanggal  2 Maret 2017

Siregar,Evelin dan Nara,Hartini (2011). Teori Belajar dan Pembelajaran, Bogor:Galia Indonesia.

Sudira,Putu (2012).Filosofi dan Teori Pendidikan Vokasi dan Kejuruan.Yogyakarta:Uny Press.

Sudira,Putu (2016).Kurikulum Dan Pembelajaran  Pendidikan Dan Pelatihan Vokasi Menyongsong Skill Masa Depan. aff.uny.ac.id/sites/default/files/131655274/KURIKULUM-VET-SKIL-MASA-DEPAN.pdf. Diakses tanggal  2 Maret 2017.

Taufiq, Ahiq  ( 2014). Teori Belajar Kontemporerhttp://upindonesia.blogspot.co.id/2014/02/ teori-belajar-kontemporer. html. Diakses tanggal  2 Maret 2017.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar