“TEORI
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KEJURUAN/VOKASI”
Dosen Pengampu: Dr. Hendra Jaya MT
Mata kuliah: Teori Strategi Pembelajaran
PTK
Nama Mahasiswa: Andi Haerawati
S2/PTK Program Pasca Sarjana UNM
Pendidikan
kejuruan dan vokasi tidak semata mata dikembangkan menggunakan instrument
kebijakan pendidikan tetapi juga menggunakan instrument kebijakan sosial,
ekonomi, politik dan ketenagakerjaan (Atchoarena,D. 2009). Pendidikan kejuruan
dan vokasi peka terhadap masalah-masalah dan perubahan sosial masyarakat. Diminati atau sebaliknya tidak diminati pendidikan kejuruan dan vokasi
itu sangat tergantung dengan keadaan sosial masyarakat itu sendiri.
Dalam perspektif
sosial ekonomi pendidikan kejuruan dan vokasi adalah pendidikan ekonomi sebab
diturunkan dari kebutuhan pasar kerja, memberi
urunan terhadap kekuatan ekonomi
(Singh,M.,2009;Ahadzie.W.,2009;Hawley,J.D .,2009; Pavlova,M.2009). Lebih lanjut
menurut Wardiman (1998;32), pendidikan kejuruan dikembangkan melihat adanya
kebutuhan masyarakat akan pekerjaan. Peserta didik membutuhkan program yang
dapat memberikan ketermpilan, pengetahuan, sikap kerja, pengalaman wawasan dan
jaringan yang dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pilihan
kariernya .
Secara
tradisional tujuan utama dari pendidikan kejuruan adalah persiapan langsung
untuk bekerja. Pendidikan tersebut dianggap memberikan pelatihan khusus yang
reproduktif dan berdasarkan instruksi pengajar dengan maksud untuk
mengembangkan pemahaman tentang industri tertentu.
Untuk itu disiapkan
Sekolah Menengah Kejuruan yang berlandaskan 3 tujuan pokok, yaitu mempersiapkan
lulusan untuk bisa bekerja, meneruskan, dan wirausaha yang dikenal dengan
singkatan BMW. BMW mengandung makna bahwa Sekolah Menengah Kejuruan harus
dapat: 1) mempersiapkan peserta didik dengan kompetensi-kompetensi untuk bekal bekerja memasuki dunia kerja, 2)
mempersiapkan peserta didik untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, 3)
mempersiapkan peserta didik untuk
bekerja mandiri dengan berwirausaha. (Trilling, B. dan Fadel,C.2009)
menyatakan bahwa pekerjaan saat ini dan yang akan datang memerlukan
keterampilan kompleks, keahlian, dan kreativitas. Pergeseran paradigma
pendidikan kejuruan dari hanya menciptakan tenaga kerja terampil menjadi
menciptakan tenaga kerja terampil berpengetahuan dan berkarakter akan berdampak
pada perubahan strategi pembelajaran di sekolah kejuruan.
Tuntutan
kompetensi yang lebih luas yang tidak sekadar memiliki keterampilan teknis akan
berimplikasi pada strategi, model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh
pendidikan kejuruan. Strategi, model dan metode pembelajaran tersebut tidak
hanya mengantar peserta didik memiliki
skill, teknis, tetapi juga harus mengantar peserta didik menjadi insan yang kreatif,
inovatif, mandiri, mampu bekerja dalam tim, mampu berkomunikasi dan menerapkan
budaya literasi.
Dalam proses pembelajaran SMK terdapat empat
kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori belajar yaitu: teori belajar behavioristik, teori belajar
kognitivistik, teori belajar konstruktivistik dan teori belajar
humanistik.
A.
TEORI BELAJAR
BEHAVIORISTIK
Teori belajar Behavioristik adalah teori
belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan.
Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Behaviorisme merupakan kekuatan pendidikan
sejak abad pertengahan. Sebagai suatu pendekatan terhadap pendidikan,
behaviorisme terbuka bagi manusia modern yang mengutamakan metodologi ilmiah
dan “obyektivitas” seperti sektor yang dapat diukur dari komunitas bisnis yang
menilai hasil, efisiensi, dan ekonomi yang terlihat mendesak (Haryo, 2007)
Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini yaitu :
Manusia adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan cara
yang sama seperti yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah
proses perubahan perilaku; peran guru adalah menciptakan lingkungan
pembelajaran yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan obyektivitas
merupakan perhatian utama dalam pendidikan.
Pengertian belajar menurut teori
Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya reaksi
antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila
ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum
menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan
proses belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus
dan output yang berupa respons. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa
alat peraga, gambar-gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses
belajar (Budiningsih, 2003).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan
unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan
lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya
latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan
dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement
dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan
yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang
menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi
terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Para tokoh aliran behaviorisme setidaknya ada Thorndike, Skinner, Pavlov,
Gagne, dan Bandura. Pada intinya mereka menyetujui pengertian belajar di
atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat
akan kami bahas karya tokoh aliran behaviouristik sebagai berikut.
Konsep dari
teori belajar behavioristik adalah respon
perubahan perilaku yang teramati, terukur, dan ternilai konkrit karena
stimulus dari luar. Kunci pokok dan prinsip dasar stimulus dalam belajar
adalah pengkondisian lingkungan belajar
(Putu Sudira: 2016: 161). Behavioris melihat proses belajar sebagai perubahan
perilaku, dan akan mengatur lingkungan untuk memperoleh respon yang diinginkan
melalui perangkat seperti tujuan perilaku,
pembelajaran berbasis kompetensi, dan
pengembangan keterampilan dan pelatihan. Pendekatan pendidikan
seperti pengukuran berbasis kurikulum,
dan pembelajaran langsung muncul dari model ini
(https://en.wikipedia.org/wiki/Learning_theory_(education)#Behavior_ analysis).
Pada konsep
belajar behaviorism ini lingkungan sangat besar
perannya untuk membentuk anak. Bila lingkungan memberikan stimulus
positif maka anak akan berperilaku positif. Teori ini dapat diterapkan dalam
pendidikan kejuruan yakni dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan
pembelajaran langsung. Sebelum melakukan suatu pekerjaan anak melihat apa yang
dicontohkan oleh guru, kemudian mencoba dengan meniru perilaku guru dan
dilakukan berulang-ulang. Menurut Putu Sudira (2016:163) teori belajar
behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula.
Pembelajar kejuruan pemula sebelum berlatih
suatu skill motorik memerlukan interaksi sosial dengan
mengamati kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori
Bandura), mempraktikkan secara langsung (teori Skinner), diulang-ulang hingga
menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan mental
peserta didik sebelum latihan (teori Thorndike). Teori belajar
behavioristik bermanfaat pula untuk menghadapi pembelajar kejuruan yang pasif.
Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa sebagai bentuk stimulus agar
mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya siswa SMK masih cenderung
pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa pemula atau kelas X.
Menurut Budiningsih, 2005:24 dari semua teori pendukung tingkah laku, teori
skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar.
Beberapa program pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang
diwujudkan dalam program-program pembelajaran yang disertai oleh perangkat
penguatan(reinforcement).
Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan
pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak
hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun
hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran
dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan
adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
Metode ini sangat cocok untuk memperoleh
kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur
kecepatan, spontanitas, kelenturan, daya tahan, contohnya percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dsb.
Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan
senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kelemahan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistik dan
hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan,
menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
Tokohnya Skinner, Watson, Thorndike. Dasar filosofis dari teori mereka adalah
bahwa perilaku itu terbentuk dari perlakuan individu lain dalam lingkungan
sekitarnya. Kalau individu tidak dapat melakukan self-determinism maka
dirinya akan mudah sekali terhanyut. Behavioristik dalam menjabarkan
pandangannya selalu dihubungkan dengan prinsip stimulus-respon. Kalau orang tua
misalnya memberikan pola asuh otoriter yang didalamnya selalu penuh dengan
kritikan, celaan, maka anakpun akan belajar dan kemudian memberikan respon
perasan rendah diri Behavioristik lebih
menekankan pada perilaku sekarang daripada menoleh kembali ke masa kehidupan
awal.
B.
TEORI BELAJAR
KOGNITIVISTIK
Teori belajar
kognitivistik ini lebih menengkankan
proses belajar dari pada hasil belajar. bagi penganut aliran kognivistik
belajar tidak sekedar melibatkan antara stimulus dan respons. lebih dari itu
belajar adalah melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Siregar &
Nara, 20) Teori kognitif fokus pada
konseptualisasi proses belajar siswa dan mengatasi masalah bagaimana informasi
yang diterima, terorganisir, disimpan, dan diambil oleh pikiran. Belajar yang
bersangkutan tidak begitu banyak dengan peserta didik apa yang dilakukan,
tetapi dengan apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka datang untuk
memperolehnya (Jonassen, 1991). Kognitivisme fokus pada aktivitas mental dan
pikiran, memproses informasi, memasukkan memory, memecahkan masalah, menalar Model kognitif ini memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui
upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Adapun teori pendukung
kognitivisme antara lain: 1) component
display theory dari Merrill; 2) teori elaborasi dari Reigeluth; 3)
konstruktivisme kognitif dari Gagne, Bringgs, dan Bruner,; 4) structural
learning dari Scandura (Putu Sudira: 2016).
Dalam pendidikan kejuruan Teori
belajar kognitif digunakan dalam pembelajaran ketrampilan berpikir ( thinking
skills ). Selain skill motorik, skill kognitif diperlukan
dalam pendidikan kejuruan abad 21 untuk membekali lulusan mudah
beradaptasi dalam dunia kerja yang mengalami perubahan sangat cepat
dibidang teknologi.
High Order Thinking Skill
(HOTS) semakin dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21 (Sudira:2016). Critical
thinking, creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia,
proses mendapatkan informasi merupakan variabel penting belajar abad 21 sebagai
dasar mengkonstruksi pengetahuan.
C. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Teori belajar Konstruktivisme
adalah perspektif psikologis dan filosofis menyatakan bahwa individu
membentuk atau membangun pengetahuan dari apa yang dipelajari dan dipahami.
Teori dari Piaget and Vygotsky berpengaruh besar pada
peningkatan constructivism melalui teori dan riset pengembangan manusia. Belajar
menurut teori kontruktivisme merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan
melalui pengalaman, Pengetahuan merupakan hasil dari proses mengkontruksi yang
dilakukan individu. Wina Sanjaya (2010)
Teori belajar
konstruktivistik menekankan bahwa belajar adalah proses aktif mengkonstruksi
pengetahuan. Peserta didik berperan sebagai konstruktor pengetahuan.
Berlangsungnya proses mental mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan
yang ada sebelumnya merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan. Belajar
merupakan proses aktif mengkonstruksi pengetahuan, ide baru dengan
pengalaman sebelumnya (Putu Sudira: 2016: 166).
Konsekuensi dari
penggunaan teori konstruktivis dalam pembelajaran adalah bagaimana sekolah dan
guru menciptakan lingkungan konstruktivis yang kaya pengalaman. Pembelajaran
konstruktivis berbeda dengan pembelajaran tradisional. Dalam pembelajaran
konstruktivis, kurikulum berfokus pada konsep. Kegiatan pembelajaran biasanya
memanfaatkan data dan bahan manipulatif sebagai sumber utama. Guru berinteraksi
dengan siswa dengan bertanya berdasarkan sudut pandang mereka. Siswa
sering bekerja dalam kelompok. Penilaiannya menggunakan penilaian otentik,
observasi dan portofolio. Kuncinya ada pada struktur lingkungan belajar,
sehingga siswa dapat secara efektif membangun pengetahuan dan keterampilan baru
(Schunk, 2012: 261).
Berdasarkan
teori konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran berpikir tingkat
tinggi yang diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan teori ini untuk
menjawab tantangan dunia kerja yang memerlukan tenaga kerja yang memiliki
skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi dengan pengetahuan baru.
Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis menekankan pada kooperatif dan
kolaboratif dengan pembentukkan kelompok kerja siswa. Hal ini sesuai dengan
kebutuhan skill abad 21 yang memerlukan kemampuan kerja dalam tim.
Transformasi
global terhadap ekonomi berbasis pengetahuan, industri kreatif, tuntutan yang
kuat untuk pengembangan kualitas masyarakat, kompetisi internasional dan regional
telah mendorong perubahan pola penyelenggaraan pendidikan vokasi di berbagai
belahan dunia (Cheng, 2005). Telah terjadi peningkatan keterbukaan,
fleksibilitas, kompleksitas, dan ketidakpastian dalam masyarakat industri
berbasis pengetahuan (Tessaring, 2009; Heinz, 2009; Billet, 2009; Wagner,
2008). Sehingga kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi (VET) dituntut harus
selalu beradaptasi dengan kondisi, perubahan, dan kebutuhan dunia kerja. Pada
prinsipnya, kurikulum VET harus mengakomodasi semua kebutuhan baik kebutuhan
fisik peserta didik, non-fisik, dan moral serta masa depan mereka untuk bisa
hidup aman, nyaman, bahagia sejahteran,dan harmonis bersama masyarakat dan alam
sekitarnya (Rojewski, 2009).
Teori
konstruktivis menginspirasi para ahli pembelajaran untuk membuat
model-model pembelajaran baru berbasis konstruktivis Pendidikan kejuruan
bersifat dinamis sehingga teori belajar kontemporer yang banyak mewarnai
pendidikan kejuruan. Berikut adalah macam-macam teori belajar kontemporer,
diantaranya:
a) Teori Operant Conditioning dari B.F Skinner
Berkembangnya
teori Operant Conditioning berasal dari Classical Conditioning dari Pavlov.
Inti dari teori ini adalah bahwa setiap perilaku berwujud karena ada stimulus
yang hasilnya berupa respon atau yang biasa dikenal S-R (Stimulus Respon). Jadi
dapat disimpulkan bahwa teori operant conditioning yaitu teori yang berusaha
untuk mengkondisikan siswa untuk merespon stimulus dan responnya berupa
keinginan untuk belajar.
b) Teori Condition of Laerning dari Robert Gagne
Dasar
teori ini yaitu bahwa belajar tidak bisa berdiri sendiri hanya untuk
menyampaikan materi pembelajaran, tapi perlu didukung oleh faktor lingkungan
atau kondisi. Dalam teori ini menyatakan bahwa ada beberapa jenis atau tingkat
pembelajaran. Pentingnya klasifikasi tersebut adalah bahwa setiap jenis yang
berbeda membutuhkan berbagi jenis instruksi.
Berikut
adalah lima kategori pembelajaran:
a. Informasi
Verbal
b. Keterampilan
Intelektual
c. Strategi
Kognitif
d. Keterampilan Motorik
e. Sikap
Dari
kelima kategori pembelajaran diatas, komponen utamanya yaitu berupa kondisi
internal dan eksternal yang berbeda diperlukan untuk setiap jenis belajar.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa teori Conditioning of learning yaitu suatu kondisi atau
lingkungan yang dikondisikan untuk menstimulus suatu kegiatan pembelajaran.
c) Teori Information
Processing dari Donald A. Norman
Teori
ini bisa dianalogikan seperti kinerja otak manusia. Setiap informasi yang
diperoleh kemudian diolah oleh otak (disebut proses) dan hail belajar
merupakan output dari proses informasi.
d) Karakteritik Cognitive
Development dari Piaget
Teori ini, yang disebut sebagai teori perkembangan kognitif (cognitive-developmental theory)
yang berfokus pada bagaimana proses berpikir mengalami perubahan, secara
kualitatif, seiring dengan usia dan pengalaman. Anak-anak berperan aktif
mencari tahu informasi dan sering mencoba hal-hal baru. Dalam proses untuk
mengerjakan hal ini, pemikiran anak-anak secara bertahap menjadi lebih abstrak
dan sistematis.
e) Teori Social Learning
dari Albert Bandura
Teori ini menjelakan bahwa
perilaku seseorang merupakan hasil dari modelling/peniruan. Jadi perilaku
seseorang itu bisa dipengeruhi oleh lingkungan dan kemampuan kognitifnya,
sehingga menghasilkan suatu kepribadian. Teori kognitif sosial bandura manyatakan bahwa
perilaku, lingkungan dan faktor manusia/kognitif semua penting dalam memahami
kepribadian.
f f ) Teori attribution dari
Weiner
Dalam
teori ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekslporasi semua
kemampuannya. Sehingga ruang gerak siswa dalam mencari dan mengolah informasi
tidak dibatasi.
Selanjutnya
teori-teori belajar TVET berkembang pesat seiring dengan kebutuhan dunia pada
tenaga kerja yang siap pakai. Konsep belajar kontemporer dalam TVET
antara lain belajar berbasis kehidupan (life
based learning), dan belajar sepanjang hayat (long life learning). TVET berperan dalam pendidikan untuk
semua (education for all ) baik pendidikan formal maupun non formal dari
semua tingkat usia.
Belajar berbasis
kehidupan ( life based learning ) dan
belajar sepanjang hayat (long life
learning) bertujuan untuk memperoleh ketrampilan menjalani hidup (life skill ). Life
skill merupakan keseluruhan skill yang dibutuhkan untuk
menjalani kehidupan sepanjang waktu. Konsep belajar kontemporer dalam TVET
adalah belajar yang terkonstruksi secara sosial, situasional, kondisional,
berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar sepanjang hayat, dan
belajar berbasis kehidupan. Pembelajaran TVET selalu kontekstual sesuai dengan
situasi terkini dan mengedepankan pendekatan partnership serta interaksi
sosial. Teori belajar kontemporer dalam TVET adalah sebagai berikut:
1. Life
Based Learning
Industri
berbasis pengetahuan ( Knowledge-based Industry) membutuhkan pekerja
berpengetahuan (knowledge workers) yang siap menerima tantangan pekerjaan
dengan kondisi lingkungan yang dinamis mengikuti perubahan dan arus tekanan yang
semakin kontradiktif. Life-based learning tidak terbatas hanya pada
belajar bekerja, belajar mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat
kerja. Staron (2011) menyatakan “ Life-based
learning proposes that learning for work is not restricted to learning at
work”. Pernyataan Staron inipun tidak cukup untuk kondisi Indonesia. Bagi
masyarakat Indonesia belajar untuk bekerja (learning for work )
merupakan sebagian dari kebutuhan hidup. Masih banyak kebutuhan lain yang harus
dipenuhi seperti kebutuhan bersosialisasi, beribadah, berbangsa, dan bernegara.
Life-based
learning adalah proses pemerolehan pengetahuan
dan skills memahami hakekat kehidupan, terampil memecahkan
masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara seimbang dan harmonis.
Life-based
learning mengetengahkan konsep bahwa belajar dari kehidupan adalah belajar
yang sesungguhnya. Visi life-based learning dalam TVET adalah
terbangunnya keyakinan dan budaya bekerja, belajar untuk saling membantu
diantara peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pengembangan
potensi diri mereka masing-masing agar berkembang kapabilitasnya secara
terus-menerus dalam bidang kejuruannya (Putu Sudira, 2016: 174-176).
Life-based
learning merupakan pengembangan spiral dari expert centred learning
dan work-based learning . Expert
centred learning adalah pembelajaran berpusat kepada pakar,
berbasis kelas, proses adopsi dan implementasi. Work-based learning adalah
pembelajaran yang terpasilitasi berbasis projek.
Beberapa hal
yang diketahui tentang belajar mandiri: (a) peserta didik dapat diberdayakan
untuk mengambil tanggung jawab semakin meningkat untuk berbagai keputusan yang terkait dengan usaha
pembelajaran; b) self-direction dipandang terbaik sebagai kontinum atau
karakteristik yang eksis untuk beberapa
derajat pada setiap orang dan situasi belajar; c)self-direction tidak berarti semua pembelajaran berlangsung dalam
isolasi dari orang lain; c) peserta didik mandiri muncul dapat mentransfer
pembelajaran, baik dari segi keterampilan pengetahuan dan studi, dari satu
situasi ke yang lain; e) studi mandiri dapat melibatkan berbagai kegiatan dan
sumber daya, seperti membaca dipandu diri sendiri, partisipasi dalam kelompok
belajar, magang, dialog elektronik, dan kegiatan menulis reflektif; (F) peran
yang efektif bagi guru dalam self-directed learning, seperti dialog dengan
peserta didik, mengamankan sumber daya, mengevaluasi hasil, dan mempromosikan
berpikir kritis.
2. Belajar
Berpartner Sosial (Social Partnerships Learning)
Perkembangan
TVET memasuki fase tiga yang bercirikan sistem
pendidikan kejuruan demand-driven dimana sistem TVET dipengaruhi secara
langsung oleh kebutuhan ekonomi pasar sehingga TVET dituntut mampu menyediakan
tenaga profesional dengan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja. Belajar berpartner sosial
adalah jaringan belajar yang menghubungkan kelompok lokal dengan organisasi
atau lembaga eksternal yang bergerak
lintas global, regional, nasional, lokal, kota, tempat kerja, dan keluarga
(Sudira:2012).
Kemitraan adalah
fitur lama dari kebijakan publik. Misalnya, pendidikan sekolah didasarkan pada
kemitraan antara pemerintah dan profesi guru selama abad kedua puluh. Setelah
tahun 1990-an, pendidikan kejuruan dan pelatihan didasarkan pada kemitraan
antara pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah dimana dibuat undang-undang
melalui perguruan tinggi vokasional dan lembaga Technical and Further Education
(TAFE).
3. Pembelajaran
Orang Dewasa (Mature Adult Learning )
Pembelajaran
dalam kejuruan membutuhkan persyaratan dan kondisi kematangan dan kedewasaan
pada peserta didik. Lingkungan kerja membutuhkan kesiapan dan kematangan anak
dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa kedewasaan dan kematangan maka pekerja akan
kesulitan dalam mengembangkan karirnya. Semua pekerjaan membutuhkan tanggung
jawab dan disiplin tinggi yang dapat dilakukan oleh orang yang memiliki
kedewasaan yang cukup (Putu Sudira, 2016: 190).
Konsep
pembelajaran orang dewasa diarahkan untuk pembentukan konsep diri terhadap
sesuatu yang dipelajari, kemudian menemukan makna dari sesuatu yang dipelajari.
Pembelajar mengembangkan dan mengkonstruksi
pengetahuan melalui usaha-usahanya sendiri.
4.
Pengembangan Kompetensi Sebagai Proses
Kolektif
(Competence
As Collective Process)
Kompetensi adalah
kapasitas diri seseorang yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan berupa
pengetahuan, skill, dan sikap sesuai bidangnya. Menurut Putu Sudira (2016: 192)
seseorang dikatakan kompeten jika mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan
skill yang tinggi sesuai bidangnya,mampu menjelaskan prosedur kerja dan
pengetahuan kerja, serta memiliki sikap kerja yang tepat sebagai pekerja yang
efektif dan produktif. Pengembangkan kompetensi membutuhkan interaksi sosial
sebagai proses kolektif. Pekerjaan dan masalah pekerjaan membutuhkan
penyelesaian kolektif antar individu. Pengembangkan kompetensi kerja
membutuhkan proses kolektif antar individu atau kemampuan individu menjalin
kerjasama dalam tim untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Persyaratan kerja yang
mengalami perubahan ke arah lebih komplek, non rutin, konseptual, bebas
memilih, berbasis interaksi dengan orang lain membutuhkan pembelajaran
kompetensi yang interaktif kolektif diantara peserta didik (Putu Sudira, 2016:
193).
5. Belajar
Berbasis Kerja (Work Based Learning )
Work based
learning diterapkan dalam TVET untuk memenuhi kebutuhan ketuntasan belajar
sesuai standar industri. Belajar berbasis kerja dapat dilakukan di sekolah atau
di industri. Pendidikan kejuruan dikatakan efektif bila menghasilkan lulusan
yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Adanya industri berbasis pengetahuan
mengandung konsekuensi berubahnya konsep
pembelajaran berbasis kerja (Putu Sudira).
Work based
learning harus mampu menghasilkan pekerja yang kompeten dan cakap dalam
menghadapi perubahan yang cepat serta memiliki karakter kerja ( soft skill )
sesuai tuntutan industri. Perubahan teknologi yang cepat di dunia industri
menuntut pekerja yang memiliki kecakapan Skill motorik, knowledge, dan
character.Kelemahan Prakerin umumnya DUDI kurang memberikan pelatihan
praktik peserta didik sesuai standar.
6. Belajar
Di Tempat Kerja (Workplace Learning )
Setiap pemecahan
masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah sampai pada pengambilan
keputusan yang efektif dan efisien. Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan
kerja dan berlangsungdi tempat kerja merupakan pembelajaran TVET abad 21 (Putu
Sudira, 2016: 196). Pembelajaran di tempat kerja membantu siswa untuk: 1)
menguji coba pilihan pekerjaan dan karir
mereka, 2) menyelesaikan tugas yang diberikan dalam mata pelajaran yang
bersangkutan di lingkungan industri yang relevan, 3) mengetahui apa yang
diinginkan oleh pemberi pekerjaan dari para pekerja mereka, 4) membangun
keahlian bekerja umum seperti komunikasi di tempat kerja, kemandirian dan kerja
sama tim, 5) mengembangkan keahlian khusus untuk bidang kerja yang mereka
inginkan, 6) mendapatkan kepercayaan diri dan kedewasaan melalui partisipasi
dalam lingkungan kerja orang dewasa, 7) membuat keputusan berdasarkan informasi
yang benar ketika merencanakan pilihan
yang akan mereka ambil dalam transisi mereka selama di sekolah dan menuju
pendidikan lebih lanjut, pelatihan dan pekerjaan.
Ada 3 asumsi John Thompson (1973) yang
disampaikan dalam bukunya yang berjudul “Foundations
of Vocational Education” yaitu:
a. Pendidikan vokasi bisa dikatakan
efisien secara ekonomi apabila mampu mempersiapkan para siswanya untuk suatu
pekerjaan spesifik dalam masyarakat yang didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja
yang riil.
b. Pendidikan vokasi bisa dikatakan
efisien secara ekonomi apabila mampu menjamin adanya pasokan tenaga kerja untuk
suatu wilayah.
c. Pendidikan vokasi bisa dikatakan
efisien secara ekonomi apabila para lulusannya mendapatkan pekerjaan sesuai apa
yang dilatih.
D. TEORI HUMANISTIK
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para
pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam
diri mereka.Dari teori-teori belajar,
seperti behavioristik, kognitif dan konstruktivistik teori inilah yang paling abstrak , yang
paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan. Dalam teori belajar
humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam
kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar
seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.
Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia”
(mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil
jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam
proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi
diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku
belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanistik adalah
pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan
pemerolehan pengetahuan yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan
strategi berpikir produktif Pendekatan sistem bisa dapat di lakukan sehingga
para peserta didik dapat memilih suatu rencana pelajaran agar mereka dapat
mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah
pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan
aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan praktis dalam
pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan bahan-bahan
pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri tidak ada yang
membatasi keanekaragaman pendidikan ini.Tokoh utama teori humanistik adalah C.
Rogger dan Arthur Comb.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si peserta
didik. untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam
pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta
didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
Beberapa prinsip Teori belajar Humanistik:
1. Manusia
mempunyai belajar alami
2. Belajar
signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi
dengan maksud tertentu
3. Belajar
yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
4. Tugas
belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
5. Bila
bancaman itu rendah terdapat pangalaman peserta didik dalam memperoleh cara.
6. Belajar
yang bermakna diperolaeh jika peserta didik melakukannya
7. Belajar
lancar jika peserta didik dilibatkan dalam proses belajar
8. Belajar
yang melibatkan peserta didik seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
9. Kepercayaan
pada diri pada peserta didik ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
10.
Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.
DAFTAR REFERENSI
Australian:
NCVER. https://www.ncver.edu.au/__data/assets/file/0014/5180/nr2002.
pdfTauhidBashori.Pragmatisme Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey),
http://www.geocities.com. Diakses tanggal
2 Maret 2017
Diakses tanggal 2 Maret 2017
Siregar,Evelin dan
Nara,Hartini (2011). Teori Belajar dan
Pembelajaran, Bogor:Galia Indonesia.
Sudira,Putu
(2012).Filosofi dan Teori Pendidikan
Vokasi dan Kejuruan.Yogyakarta:Uny Press.
Sudira,Putu (2016).Kurikulum
Dan Pembelajaran Pendidikan Dan
Pelatihan Vokasi Menyongsong Skill Masa Depan. aff.uny.ac.id/sites/default/files/131655274/KURIKULUM-VET-SKIL-MASA-DEPAN.pdf.
Diakses tanggal 2 Maret 2017.
Taufiq, Ahiq ( 2014). Teori Belajar Kontemporerhttp://upindonesia.blogspot.co.id/2014/02/
teori-belajar-kontemporer. html. Diakses tanggal 2 Maret 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar