KONSEP/STRATEGI
PEMBELAJARAN DI SMK (PENDIDIKAN VOKASI)
Tugas
2
S2
PTK PPS UNM
Mata
Kuliah: Teori dan Strategi Pembelajaran
Dosen
Pengampu : Dr. Hendra Jaya, S.Pd., MT.
A. Konsep Strategi Pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan
Perkembangan zaman menuntut pembinaan sumber
daya manusia yang berkualitas. Daya saing Indonesia dalam menghadapi persaingan
antar negara maupun perdagangan bebas sangat ditentukan oleh outcome dari
pembinaan SDM-nya. Salah satu upaya negara dalam pemenuhan SDM level menengah
yang berkualitas adalah pembinaan pendidikan kejuruan.
Rumusan arti pendidikan kejuruan sangat
bervariasi. Menurut Rupert Evans (1978), pendidikan kejuruan adalah bagian dari
sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu
kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan
lainnya. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15,
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta
didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan terdiri
dari Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan.
Karakteristik
Pendidikan Kejuruan (Djojonegoro, 1998) adalah sebagai berikut :
- Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja
- Pendidikan kejuruan didasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja)
- Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja
- Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada “hands-on” atau performa dalam dunia kerja
- Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan
- Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi
- Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning by doing” dan “hands-on experience”
- Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik
- Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar daripada pendidikan umum.
Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan kejuruan menurut Charles
Prosser (1925) adalah sebagai berikut :
- Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan di mana siswa dilatih merupakan replika lingkungan di mana nanti ia akan bekerja
- Pendidikan kejuruan akan efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diterapkan di tempat kerja
- Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri
- Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap individu memodali minatnya, pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi
- Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan, atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya, dan yang dapat untung darinya.
- Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya
- Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan
- Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut
- Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan tanda-tanda pasar kerja)
- Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai)
- Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah dari pengalaman para ahlu pada okupasi tersebut
- Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya
- Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang mememrlukan dan memang paling efektif jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan
- Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut
- Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengalir daripada kaku dan terstandar
- Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
Perubahan struktur industri yang terjadi di masyarakat,
diversifikasi nilai-nilai sosial, munculnya pendekatan pembejaran
multistrategi, pergeseran dalam pendekatan pembelajaran, dan penghargaan untuk
kecepatan menyebabkan peserta didik tidak hanya mengandalkan apa yang
dipelajari di sekolah. Oleh karena itu menurut Rau et al (2006), pendidikan di
era seperti sekarang adalah bagaimana mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam “learning how to learn” dan ‘relearning” serta membawa
kemampuan seumur hidup, menjadi isu penting dalam pendidikan kejuruan.
Lebih lanjut
Rau menyampaikan kurikulum yang ideal untuk pendidikan kejuruan harus memiliki
fitur dan didukung langkah-langkah : 1) struktur kurikulum yang fleksibel, 2)
bahan ajar yang menarik, 3) pendekatan pengajaran yang beragam, 4) menggunakan
mekanisme penilaian berbasis kompetensi, 5) akses yang mudah untuk mengikuti
program pelatihan guru lanjutan. Selain itu proses belajar mengajar hendaklah
dilakukan dengan menitikberatkan pada : 1) fleksibilitas, 2) kemampuan
beradaptasi, 3) pencapaian kompetensi peserta didik.
Proses pembelajaran
di pendidikan kejuruan harus dilakukan dengan mengedepankan aspek penguasaan
Teknologi Informasi dan komunikasi
(TIK). Penguasaan terhadap TIK menjadi penting karena dengan
perkembangan teknologi dan informasi begitu cepat sehingga manusia mampu
bergerak tanpa dibatasi oleh wilayah teritori suatu negara, dimana pengetahuan
mampu ditransformasikan secara cepat. Sehingga siapapun yang mampu menguasai
informasi akan menjagi pemenang (Hsiung, 2000). Selain itu, proses pembelajaran
pada pendidikan kejuruan juga harus diarahkan pada pemberian pengalaman belajar
(learning experience) yang bermakna (Surya Dharma, 2013).
Melalui proses
tersebut diharapkan dapat dihasilkan lulusan yang kompeten dan tidak sekedar
berkutat pada seberapa tinggi pendapatan yang diperoleh setelah peserta didik
lulus atau permasalahan ketenagakerjaan yang muncul setelah peserta didik lulus
dari sekolah menengah kejuruan.
Adapun
beberapa model penyelenggaraan pendidikan kejuruan adalah:
a. Model Sekolah Pada model ini pembelajaran dilaksanakan sepenuhnya di sekolah. Model ini berasumsi bahwa segala hal yang terjadi di tempat kerja dapat diajarkan di sekolah dan semua sumber belajar ada di sekolah. Model ini banyak di adopsi di Indonesia sebelum Repelita VI.
b. Model Magang
Pada model ini pembelajaran dasar-dasar kejuruan dilaksanakan di sekolah dan inti kejuruannya diajarkan di industri melalui sistem magang. Model ini banyak diadopsi di Amerika Serikat.
c. Model Sistem Ganda
Model
ini merupakan kombinasai pemberian pengalaman belajar di sekolah dan pengalaman
kerja di dunia usaha. Dalam sistem ini sistem pembelajaran tersistem dan
terpadu dengan praktik kerja di dunia usaha/industri.
d.
Model School-based Enterprise
Model
ini di Indonesia dikenal dengan unit produksi. Modul ini pada dasarnya adalah
mengembangkan dunia usaha di sekolahnya dengan maksud sesain untuk menambah
penghasilan sekolah, juga untuk memberikan pengalaman kerja yang benar-benar
nyata pada siswanya. Model ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan
sekolah kepada industri.
Adanya
perubahan langsung dan cepat sebagai hasil dari pengalaman belajar peserta
didik. Setiap peserta didik yang terlibat dalam pembelajaran dapat memperoleh
ketrampilan dan pengetahuan, serta mampu meningkatkan kapasitas peserta didik
yang pada prinsipnya memungkinkan proses pengambilan keputusan yang lebih
efisien untuk berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan, keluarga,
keterlibatan dalam masyarakat dan partisipasi
Pada konteks
pembelajaran, peserta didik di sekolah kejuruan dapat membentuk kelompok sosial
baru, memodifikasi jaringan sosial sebelumnya, dan membentuk hubungan dengan
guru atau instruktur (tutor) . Lebih lanjut pengalaman belajar yang positif
dapat dijadikan potensi untuk mengatasi kesenjangan struktur sosial. Struktur
mengacu pada faktor-faktor seperti sosial, etnis, jender, dan agama yang
mempengaruhi kesempatan setiap individu.
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman belajar yang
diperoleh dari pendidikan kejuruan perlu diarahkan pada pengembangan kapasitas
individu untuk menemukan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya,
serta mampu meningkatkan kebiasaan pengarahan diri sendiri (self directing)
peserta didik. Di dalam pembelajaran pendidikan kejuruan, situasi dan kondisi
pembelajaran khususnya pembelajaran praktik, seharusnya dilakukan dengan
metode, strategi, dan teknik yang mirip dengan dunia kerja sesungguhnya. Antar
individu peserta didik dilatih untuk bekerja sama dalam satu tim yang kuat
dalam rangka mewujudkan suatu bentuk pekerjaan/produk tertentu sebagai
pencapaian akhir suatu pembelajaran praktik.
B.
Kondisi Pendidikan SMK Saat Ini
Kondisi Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan saat ini mendapat perhatian
khusus dari pemerintah
terutama terkait beberapa masalah yang dapat menghambat upaya pemerintah
dalam memperbanyak lulusan SMK berkompetensi tinggi dan berkarakter untuk
menyiapkan ketenagakerjaan yang siap bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) khususnya dan era global umumnya. Adapun permasalahan dan tantangan
yang terjadi di Sekolah Menengah
Kejuruan saat ini adalah :
1.
Kurikulum SMK yang digunakan tidak
selaras dengan kompetensi sesuai pengguna lulusan (link and match) sehingga
belum mampu memenuhi tuntutan dunia kerja, dunia industri dan dunia usaha.
2.
Kuantitas lulusan SMK yang tidak
terserap di dunia usaha dan dunia
industri cukup tinggi disebabkan rendahnya kompetensi lulusan ,ketidaksesuaian
kompetensi yang dilatih di SMK dengan kebutuhan perusahaan/ dunia industri/
dunia usaha dan kurangnya kesiapan mental bekerja lulusan SMK.
3.
Pendirian SMK kurang memperhatikan
dan tidak mementingkan potensi, kebutuhan keterampilan dan kearifan lokal di
daerah masing-masing. Pendirian kompetensi keahlian SMK cenderung berdasarkan
“trendy” saat ini dan yakni Zaman Digital sehingga SMK Bidang Keahlian
Teknologi Informasi dan Komunikasi menjamur pendiriannya karena diminati oleh
masyarakat dari daerah perkotaan sampai daerah pedesaan yang menimbulkan
ketidakrelevanan kompetensi lulusan SMK dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh
dunia usaha dan dunia industri di daerah.
4.
Kurangnya jumlah guru produktif SMK
dan kurangnya kualitas guru produktif SMK serta tidak semua program studi yang
ada di SMK ada calon gurunya di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK).
Contoh Program Studi Animasi yang ada di SMK di perguruan tinggi keguruan
sampai saat ini belum ada Program Studi Animasi, yang ada masih sangat umum,
misalnya Pendidikan Teknologi Informasi. Hal ini akan berimbas pada lulusan SMK
yang dihasilkan.
5.
Kurangnya fasilitas sarana dan
prasarana pendidikan, kurangnya fasilitas uji kompetensi dan fasilitas
sertifikasi SMK
6.
Kurangnya kerjasama perusahaan,
lembaga pemerintah, dunia usaha dan dunia industri dalam pelaksanaan pendidikan
sistem ganda yaitu terjalinnya sinergi antara SMK dan industri. Ini terbukti
dalam pelaksanaan Praktek Kerja Industri (Prakerin) banyak karyawan, pegawai
dan staff perusahaan yang acuh tak acuh terhadap siswa dalam pelaksanaan
Prakerin bahkan terdapat beberapa perusahaan besar yang menolak siswa prakerin
dengan alasan merepotkan. Faktor lain yang menjadi masalah sering ada perlakuan
yang tidak sama antar satu perusahaan dengan lainnya terkait waktu prakerin.
Selain
itu terdapat beberapa permasalahan lain
yang dihadapi Pendidikan SMK melihat kondisi
saat ini antara lain:
1.
Pegangguran Alumni SMK Bertambah
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang
pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah
menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya
tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu
saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang
menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih
tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari
lulusan yang lebih rendah Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga
sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan
SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara
berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data empiris
tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-olah
hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan
masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya
berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan
pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap
masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti
oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual
diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya
tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah
ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran
disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya
pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu
dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
Presiden pernah menyampaikan proporsi pengangguran yang ada adalah
mereka yang berasal dari lulusan SMK. Jumlahnya sebesar 9,84 persen, angka ini
jauh lebih tinggi dari pengangguran lulusan SMA 6,95 persen, SMP 5,76 persen
dan SD sebesar 3,44 persen. Total pengangguran terbuka sebanyak 7,56 juta, dan
20,76 persennya berasal dari lulusan SMK.
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mustaghfirin Amin, mengakui tingginya
jumlah pengangguran dari kalangan alumni SMK. Namun, pihaknya menampik jika
angka pengangguran SMK bersifat statis. survei terkait angka pengangguran SMK
harus dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu tertentu. Dengan begitu,
sudah dapat diukur secara objektif proporsi alumni SMK yang telah bekerja, akan
bekerja dan belum bekerja.
Untuk mengurangi jumlah alumni SMK yang masih menganggur, pihaknya
melakukan program retooling alumni SMK. Program ini dilakukan dengan memberikan
materi kembali kepada alumni SMK yang belum bekerja.Para alumni tersebut
kembali diberi pelatihan berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan sektor industri.
"Teknisnya,para alumni kembali dipanggil oleh sekolah, diberi pekatihan
dan praktik. Setelah itu mereka diharapkan lebih siap memasuki dunia kerja..
Lewat program ini, Kemendikbud berharap kompetensi para alumni SMK lebih
aplikatif bagi dunia industri.
Banyaknya lulusan dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang
menganggur, membuat Presiden RI Joko Widodo menginginkan agar pendidikan vokasi
dirombak. Selain itu, pendidikan vokasi juga harus bisa dilakukan re-orientasi
pendidikan serta pelatihan vokasi menuju demand driven. Sehingga kurikulum,
materi pembelajaran, praktik kerja, pengujian, serta sertifikasi juga bisa
disesuaikan dengan permintaan dunia usaha dan industri, yang paling penting
harus melibatkan dunia usaha dan industri, karena mereka lebih paham kebutuhan
tenaga kerja yang fokus pada pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sektor-sektor unggulan, seperti maritim, pariwisata, pertanian, ekonomi
kreatif,” ungkapnya seperti dilansir dari laman Sekretaris Negara RI, Rabu
(14/9/2016)..
Persaingan antar negara juga semakin sengit dan berat. Meski
demikian, Indonesia sendiri memiliki kekuatan besar yakni penduduk anak muda
yang mencapai 60 persen. Jumlah tersebut akan terus meningkat pada 2040
mendatang. Untuk itulah, angka besar ini bisa menjadi potensi bagi penggerak
produktivitas nasional jika disiapkan sejak sekarang.
Pembahasan dan SolusiDari
beberapa permasalahan dan tantangan tersebut di atas, maka perlu diambil
tindakan sebagai langkah-langkah solusi masalah
untuk mensukseskan pelaksanaan
program revitalisasi.
2.
Alumni SMK Banyak yang
Melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan menengah yang secara
khusus mempersiapkan tamatannya untuk menjadi tenaga terampil dan siap terjun
ke dalam masyarakat luas. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang pekerjaan tertentu,
seperti bidang teknik, jasa boga dan busana, perhotelan, kerajinan,
administrasi perkantoran, dan lain-lain.
Pada kenyataanya
kebanyakan dari lulusan SMK tidak langsung bekerja melainkan melanjutkan ke
perguruan tinggi hal ini dikarenakan lulusan SMK sampai saat ini masih belum
mampu menjawab permasalahan tenaga kerja yang dibutuhkan dunia kerja. Peluang
kerja yang ditawarkan pasar kerja masih banyak yang belum terisi karena lulusan
pendidikan yang ada tidak terserap pasar kerja. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan angka pengangguran pada Agustus 2008 berdasarkan pendidikan
didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni 17,26 persen,
disusul tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) 14,31 persen, lulusan PT 12,59
persen, serta 11,21 persen. Hal ini menggambarkan adanya kesenjangan antara
kebutuhan (demand) di dunia kerja
dengan penyediaan (supply) tenaga
kerja dari institusi pendidikan kejuruan.
Dalam proses globalisasi dengan akselerasi yang cepat maka
diperlukan tenaga kerja yang tidak hanya mempunyai kemampuan bekerja dalam
bidangnya, namun juga sangat penting untuk menguasai kemampuan menghadapi
perubahan serta memanfaatkan
perubahan itu sendiri.
Pada proses rekrutasi karyawan kompetensiteknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi.
Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman
kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skills biasanya dievaluasi melalui
psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes meskipun tidak
dijamin 100% benar namun sangat membantu suatu organisasi perusahaan dalam
penempatannya ‘the right person in the
right place’.
Secara umum kesiapan seseorang untuk memasuki dunia kerja
melibatkan tiga faktor, yaitu: (1) faktor fisiologis yang menyangkut kematangan
usia, kondisi fisik, dan organ-organ tubuh, (2) faktor pengalaman yang
menyangkut pengalaman belajar atau bekerja yang menyangkut kemampuan
pengetahuan dan keterampilan atau hard
skills, dan (3) faktor psikologis yaitu keadaan mental, emosi, dan sosial yang
menyangkut kemampuan soft skills.
Dari ketiga faktor tersebut, yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini
adalah faktor ketiga, yaitu kesiapan untuk memasuki dunia kerja ditinjau dari
aspek kemampuan soft skills-nya. Berbagai penelitian menguatkan pentingnya soft skills dalam menentukan
keberhasilan seseorang.
3.
Tidak Terjadinya Suplay and Demand antara Perusahaan dan SMK
Masalah lain yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan SMK
agar lulusannya terserap lapangan usaha dan lapangan kerja, yaitu masalah
kesesuaian jumlah (proporsi) lulusan setiap program keahlian dengan kebutuhan
dunia kerja. Keberadaan SMK seharusnya didasarkan pada analisis kebutuhan
tenaga kerja (demand and supply analisys).Upaya peningkatan yang
seharusnya dilakukan agar lulusan SMK terserap di bidang industry ialah :
1) Perluasan
akses SMK
Pembangunan
Sekolah baru dengan jurusan yang baru atau menyesuaikan dengan kondisi
masyarakat. Pembangunan unit gedung yang baru pula. Sehingga SMK menjadi besar
dan berkembang
2) Pemerataan
akses SMK
Pembangunan
SMK di daerah tertinggal dan terpencil serta adanya asrama di SMK tersebut.
Sehingga anak-anak di daerah terpencil bisa merasakan sekolah. Adanya asrama
diperuntukkan bagi siswa yang rumahnya jauh.
3) Peningkatan
mutu SMK
Pengadaan
sarana dan prasana,serta buku pelajaran, rehabilitasi gedung SMK. Agar siswa
bisa lebih nyaman dalam belajar. Adanya kompetisi-kompetisi yang bisa membuat
siswa lebih menonjol dalam kemampuannya. Sertifikasi bahasa Inggris TOEFL dan
TOEIC, agar siswa lebih bisa dalam menguasai bahasa Inggris. Pengembangan SMK
bertaraf internasional sehingga mutu nya bisa lebih meningkat. Adanya besiswa
prestasi bagi siswa siswa berprestasi yang kurang mampu.
4) Peningkatan
Relevansi SMK
Pengembangan
unit usaha yang ada di SMK tersebut, bakat dan minat siswa berkembang. Bantuan
modal kerja terhadap SMK, serta perlunya kerjasama dengan industry agar lulusan
SMK tersebut tidak kesulitan dalam mencari pekerjaan.
5) Pencitraan
SMK
Pencitraan
SMK bisa melalui media-media yang elektronik maupun cetak. SMK mempunyai
website berisi informasi tentang SMK tersebut, dan iformasi yang bermanfaat
bagi masyarakat. Adanya pencitraan di media masa, suatu SMK bisa dikenal di
masyarakat.
6) Pengembangan
kualitas layanan SMK
7) Inovasi
pendidikan
8) Pengembangan
kurikulum
Penyiapan
bahan kurikulum program keahlian baru serta pemenuhan modul agar saat KBM
materi yang disampaikan bisa dipahami oleh murid. Dan agar murid dituntut aktif
dalam pembelajaran, dalam prakteknya bisa lebih baik.
Hasil pengamatan empirik yang dilakukan Depdiknas menunjukkan bahwa
sebagian besar lulusan SMK di Indonesia bukan saja kurang mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi, tetapi juga kurang mampu
mengembangkan diri dan karirnya di tempat kerja. Kualifikasi calon tenaga kerja
yang dibutuhkan dunia kerja di samping syarat keilmuan dan keterampilan juga
serangkaian kemampuan non-teknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan yang
disebut sebagai soft skills. Soft Skills didefinisikan
sebagai perilaku personal dan interpersonal yang mengembangkan dan
memaksimalkan kinerja humanis, termasuk di antaranya kemampuan berkomunikasi,
bersosialisasi, bekerja dalam tim, ketahanan mental, disiplin, tanggung jawab,
dan atribut soft skills lainnya.
Selama ini peserta didik di SMK lebih banyak mendapatkan hard skills dan lupa terhadap soft
skill-nya, sehingga kelemahan lulusan SMK dalam mengisi peluang kerja pada
umumnya adalah masalah personal skills (dari
http://www.dikti. go.id/index.php).
Kemampuan
soft skills bisa diasah dan
ditingkatkan seiring dengan pengalaman belajar, sehingga perlu ada
pergeseran paradigma berfikir dan bertindak dari fokus pada hard skills saja menjadi mensinergikan
antara hard skills dengan soft skills. Proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan di SMK saat ini belum mampu membekali karakter kerja yang
diharapkan dunia kerja.
4.
Konsep Link and Match sudah tenggelam antara SMK dan
perusahaan
Konsep link and match untuk dunia pendidikan memang bukan merupakan
hal yang baru, pada awal abad 20 dikenal adanya teori atau aliran belajar
behavioral yang pada hakekatnya adalah merupakan perwujudan dari konsep link
and match yang kemudian dikenal dengan konsep learning by doing dimana proses
belajar berjalan dengan melakukan sesuatu yang dapat memberikan pengalaman yang
nyata dan aktual (real experience) dalam kehidupan yang bertujuan untuk
mendapatkan kemampuan mentransfer apa yang sudah didapat (transfer of learning
and transfer of principle) dimana seseorang memiliki kemampuan untuk
mengaplikasikan ilmu, pengetahuan dan keterampilannya pada dunia nyata yang
berbeda kondisinya manakala dia dalam proses belajar.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu,
idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan
program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan
pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan
keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan
tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Dalam implementasinya link and match masih menghadapi kendala,
dunia pendidikan mengalami kesulitan melakukan standarisasi outcome pendidikan
kejuruan (masih terdapat kesenjangan yang lebar perbedaan kualitas antar para
alumni SMK dalam bidang yang sama, meskipun mengalami pendidikan dan kurikulum
yang sama), lembaga pendidikan masih menghadapi kesulitan dalam memproyeksikan
atau mempredeksi akan tuntutan lapangan kerja yang riil. Dominasi era global
telah membuat para penyelenggara pendidikan terjebak dalam perasaan
ketidak-pastian dengan sistem pendidikan saat ini.
Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan yang dicapai ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan
lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang
dimiliki guna menghasilkan lulusan lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai
dengan tingkat kompetisi dan perubahan yang begitu masif dan cepat. Saat ini,
persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan sekadar relevansi antara
content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya
lulusannya siap memasuki dunia kerja, akan tetapi lebih mengarah pada apa yang
harus dicermati oleh dunia pendidikan terhadap relevansi dimensi
paedagogies-didaktif (antara lain : teknik pengajaran, kurikulum, metode,
tempat pembelajaran dan lainnya) dengan trend budaya global.
Seharusnya fenomena perubahan-perubahan seperti ini yang kian
berakselerasi memberi dorongan pada lembaga pendidikan yang ada untuk terus
melakukan self reform jika ingin tetap mempertahankan eksistensinya di jaman
yang berlari seperti sekarang dan menjadikan link and match sebagai sebuah
imperative yang dapat diterapkan.Namun, juga perlu diperhatikan jangan sampai
reformasi pendidikan dilakukan secara serampangan hanya sekadar reaktif dan
tidak visioner, yang pada ujungnya justru akan menyebabkan terjadinya degradasi
kemanusiaan di masa mendatang.
Jangan pula menghasilkan pandangan/inteprestasi lain semisal bahwa
link and match seolah-olah menjadi satu-satunya cara dalam mempersiapkan
peserta didik untuk cocok masuk sebagai salah satu bagian dari dunia industri,
maka segala upaya pendidikan harus disesuaikan guna memenuhi kebutuhan dunia
kerja. Jika pemikiran atau asumsi ini muncul dikhawatirkan fungsi-fungsi lain
dari pendidikan akan mengalami penurunan nilai/substansinya atau bahkan menjadi
hilang samasekali. Hal ini tentunya harus dihindari jangan sampai terjadi.
Sekali lagi, program link and match (keterkaitan dan kesepadanan)
tidaklah salah, tetapi untuk lebih menyelaraskan antara demand and supply. akan
kebutuhan tenaga kerja (terampil) maka perlu ada terobosan lainnya yang
diharapkan dapat bersinergi dengan tujuan link and match ini adalah dengan
memberikan nuansa baru dalam model pembelajaran yang lebih menekankan kepada
learn how to learn bagi para peserta didik, tugas pengajar/pendidik
(guru/dosen) bukan lagi hanya semata sebagai orang yang hanya mengisi otak
peserta didik dengan pengetahuan, tetapi lebih dari itu tugas pendidik
(guru/dosen) adalah dapat memfasilitasi dan membantu peserta didiknya mampu
untuk membangun konstruksi pemahamam dan nalarnya berdasarkan dari beragai
macam ilmu pengeahuan dan informasi yang diperolehnya dengan memanfaatkan
berbagai sumber belajar yang ada (fasilitas perpustakaan, laboratium, media
massa, internet), sehingga tujuan akhir dari suatu proses belajar mengajar
dapat menghasilkan outcome manusia-manusia pembelajar yang selalu merasa butuh
akan inovasi, bukan hanya sekedar menjadi follower atau mengikuti selera atasan
dan bertindak atas “petunjuk dan perintah” semata.
Perlu dilakukan evaluasi atas metode pembelajaran/pengajaran
deduktif yang selama ini berjalan dengan mulai berorientasi kepada
pembelajaran/pengajaran yang bersifat induktif Dengan metode ini diharapkan
akan menjadi metode pembelajaran yang mampu mengembangkan semangat dan
kemampuan belajar lebih lanjut.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga
diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran khususnya bagi alumni SMK.
Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan
mekanisme Implementasi ilmu dari Pendidikan Kejuruan ke dunia kerja sehingga
diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu
membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat
besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia
membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Pendidikan
Kejuruan harus memiliki keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja
sebagai materi. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi para
alumni yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah
harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan
kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Adapun beberapa
pendekatan dalam mewujudkan Link and Match
a.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas
keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan
pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini
Usman, 2006: 56). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya
sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
b.
Pendekatan Ketenagakerjaan
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan
diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada
tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari
segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian. Dalam keadaan ini
kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan
tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian,
perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu
perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga
kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja.
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja.
c.
Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan
melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan
ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori
Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam
meningkatkan produktivitas kerja. Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan
suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap
individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi,
pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini
menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu
maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur
keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan
teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain
sebagainya.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987). .
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987). .
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
C.
Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan ini menjadi tantangan untuk diambil
tindakan dan solusi dalam mewujudkan
harapan menjadikan SMK sebagai lembaga vokasi yang berdaya saing
ketenagakerjaan. Program Revitalisasi SMK diharapkan sebagai problem solving
(pemecah masalah) dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan dan pelatihan
di SMK yang profesional dan peta
kebutuhan tenaga kerja bagi lulusan SMK, penyelarasan kurikulum SMK sesuai
kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, mempercepat sertifikasi kompetensi
bagi lulusan SMK, pendidik dan tenaga
kependidikan SMK, meningkatkan kuantitas
dan kualitas guru produktif serta pemberian lisensi bagi SMK sebagai
lembaga sertifikasi profesi pihak pertama, memberikan kemudahan kepada
masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan SMK yang bermutu, penataan
kelembagaan SMK dan menguatkan sinergi antara SMK dengan dunia usaha/dunia
industri serta lembaga pemerintahan. Semoga pendidikan SMK mendapat perhatian
lebih bagi pemerintah terkhusus dalam penyerapan tenaga kerja alumni SMK,
perluasan penyediaan lapangan kerja bagi lulusan SMK.
Semoga pelaksanaan program revitalisasi SMK ini berjalan lancar
sehingga dapat mewujudkan harapan-harapan ke depan, diantaranya: Bagi orang tua
dan siswa menjadikan SMK sebagai sekolah pilihan masyarakat oleh karena banyaknya peluang-peluang untuk dapat
bekerja di dunia usaha dan dunia industri, menciptakan lulusan SMK yang
berkualitas, yang berkompetensi tinggi dan berkharakter sehingga menjadi tenaga
kerja yang siap bersaing di era global serta menghasilkan lulusan SMK yang
memiliki keberanian dan kemampuan berwirausaha.
Referensi
Tulisan
Endah Swardani. 2013. Tingkat keterserapan
lulusan SMK di bidang industri.https://endahswardani.wordpress.com/2013/05/02/tingkat-keterserapan-lulusan-SMK-di-bidang-industri/. Diakses
14 Maret
Endang suryana.implementasi program link and match.
https://widuri.raharja.info/index.php/implementasi_program_link_and_match_perguruan_tinggi.
Diakses 14 Maret 2017
Kompas online. 2016. Hingga
2020, pemerintah berencana membangun 400 smk. Jakarta: kompas.com. Diakses
14 Maret 2017
News.okezone.com. 2016. Jokowi rombak pendidikan vokasi.
Republika online. 2016. Bps: lulusan smk paling banyak menganggur. Http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/10/20/ofcgqo284-kadin-alumni-smk-paling-banyak-menjadi-pengangguran.
Diakses 14 Maret
Sayuti Hasibuan. 1996.Ekonomi sumber daya manusia: teori dan kebijakan -
https://books.google.com/books/about/Ekonomi_sumber_daya_manusia.html?id.
Diakses 14 Maret.
www.academia.edu.2016.
Pendidikan kejuruan. Http://www.academia .edu /24514544 /pendidikan_kejuruan.
Diakses 14 Maret 2017.
LuckyClub Casino Site 2021
BalasHapusLuckyClub Casino site · Our website is hosted at the luckyclub following providers: · Curacao, Curacao, Curacao · Evolution Gaming, Evolution Gaming, NetEnt, Playtech,